Hampir tiga tahun saya tinggal bareng sama Mojokertensis satu ini. Dari dua tahun ngekos di Blimbingsari hingga kini kami dan sahabat ConeTall ngontrak di Jakal. Selama itu kami sekamar, yah sekamar. Udah kaya maho memang wkwkwk. Sampai-sampai kami dianggap suami istri di kalangan mahasiswa matematika. Tiap ngampus sendirian hampir selalu ditanya sama teman-teman: " Bojomu endi wok ?". Bedebah sekali.
Dengan waktu selama itu tentu saya paham betul sama perangai bajingan satu ini, kecuali isi celana dalamnya tentunya. Dulkiyok adalah orang paling lugu dan kalem di kontrakan. Tapi keluguannya acap kali membuat Dul dimaklumi sama lingkungan kampus kami, meski terjebak dengan kelakuan kami yang ngudubillah. Bahkan beberapa kembang matematika kepincut dengan sikapnya yang cool itu. Menjijikkan. Tapi kalau sudah nongkrong, 'bakat' lugunya itu selalu jadi celah untuk melancarkan proses bullying. Untungnya sejauh ini dia baik-baik saja. Bisa 'nrimo ing pandum'.
Ada satu watak Dul yang bisa membuat kami tertawa hingga menangis secara bersamaan: ingatannya masyaAllahuakbar parah. Saya ingat beberapa kisahnya.
Semester ganjil 2015 saya dan Dulkiyok menjadi panitia sie lomba pada acara Himacup, seperti PORSENI tingkat namun sebatas mahasiswa matematika UGM. Hari itu adalah pertandingan badminton di daerah Pogung. Pagi sebelum berangkat Dul mengeluh kehilangan dompet. Saya yang sudah hapal sama tabiatnya lantas mengabaikan dan bilang: "Kita berangkat dulu aja, paling entar nyelip dimana gitu". Kami kemudian berangkat ke lokasi pertandingan.
Selama pertandingan, Dulkiyok gusar memikirkan dompetnya. Namun saya urungkan niat buat mencari dan menunggu hingga pertandingan selesai. Beberapa jam kemudian pertandingan selesai dan saya langsung mengajak Dul meniti di setiap jalan dari Pogung sampai Blimbingsari. Tanpa hasil, kami langsung balik ke kos dan membongkar kamar, dari lemari sampai bawah karpet. Tapi nihil.
Tak terasa sore menjelang dan melihat muka Dul yang mlotrok saya jadi kasihan. Saya ajak dia makan di warung tenda di deket kos kami, dengan kondisi kantong saya yang sebenarnya nyaris mengenaskan. Cuma cukup buat hari itu. Tapi apalah arti uang bagi persahabatan (ehm, hoek).
Warung tenda adalah salah satu surga mahasiswa kantong cekak seperti kami. Apalagi kalo bukan karena harga dan porsinya yang mantap jiwa. Karena prasmanan, jadi kami ngambil sendiri nasi dan gerombolannya sepuasnya. Pas akan mengambil sendok nasi, saya dan si Dul terperangah melihat kotak hitam tipis yang tergeletak di samping termos nasi. Hari itu mungkin hari keberuntungannya mengingat berapa juta(*lebay) mahasiswa yang sudah makan disana sedari pagi tadi. Muka kusut Dulkiyok sontak berganti dengan senyum sumringah. Saya tentu gembira dengan kepulangan dompet sahabat saya yang menyusahkan itu.
Senja itu jadi salah satu makan ternikmat saya selama di Jogja, tentu karena saya nggak perlu risau dengan kondisi kepeng yang menjerit. Saya yakin betul makanan yang saya makan akan disertakan ketika Dul membayar makanannya.
Usai proses memamah biak tersebut Dul lantas langsung menuju ibu pemilik warung dan hanya menyebut makanan yang dia makan.
Mbelgedes.
Dengan waktu selama itu tentu saya paham betul sama perangai bajingan satu ini, kecuali isi celana dalamnya tentunya. Dulkiyok adalah orang paling lugu dan kalem di kontrakan. Tapi keluguannya acap kali membuat Dul dimaklumi sama lingkungan kampus kami, meski terjebak dengan kelakuan kami yang ngudubillah. Bahkan beberapa kembang matematika kepincut dengan sikapnya yang cool itu. Menjijikkan. Tapi kalau sudah nongkrong, 'bakat' lugunya itu selalu jadi celah untuk melancarkan proses bullying. Untungnya sejauh ini dia baik-baik saja. Bisa 'nrimo ing pandum'.
Ada satu watak Dul yang bisa membuat kami tertawa hingga menangis secara bersamaan: ingatannya masyaAllahuakbar parah. Saya ingat beberapa kisahnya.
Semester ganjil 2015 saya dan Dulkiyok menjadi panitia sie lomba pada acara Himacup, seperti PORSENI tingkat namun sebatas mahasiswa matematika UGM. Hari itu adalah pertandingan badminton di daerah Pogung. Pagi sebelum berangkat Dul mengeluh kehilangan dompet. Saya yang sudah hapal sama tabiatnya lantas mengabaikan dan bilang: "Kita berangkat dulu aja, paling entar nyelip dimana gitu". Kami kemudian berangkat ke lokasi pertandingan.
Selama pertandingan, Dulkiyok gusar memikirkan dompetnya. Namun saya urungkan niat buat mencari dan menunggu hingga pertandingan selesai. Beberapa jam kemudian pertandingan selesai dan saya langsung mengajak Dul meniti di setiap jalan dari Pogung sampai Blimbingsari. Tanpa hasil, kami langsung balik ke kos dan membongkar kamar, dari lemari sampai bawah karpet. Tapi nihil.
Tak terasa sore menjelang dan melihat muka Dul yang mlotrok saya jadi kasihan. Saya ajak dia makan di warung tenda di deket kos kami, dengan kondisi kantong saya yang sebenarnya nyaris mengenaskan. Cuma cukup buat hari itu. Tapi apalah arti uang bagi persahabatan (ehm, hoek).
Warung tenda adalah salah satu surga mahasiswa kantong cekak seperti kami. Apalagi kalo bukan karena harga dan porsinya yang mantap jiwa. Karena prasmanan, jadi kami ngambil sendiri nasi dan gerombolannya sepuasnya. Pas akan mengambil sendok nasi, saya dan si Dul terperangah melihat kotak hitam tipis yang tergeletak di samping termos nasi. Hari itu mungkin hari keberuntungannya mengingat berapa juta(*lebay) mahasiswa yang sudah makan disana sedari pagi tadi. Muka kusut Dulkiyok sontak berganti dengan senyum sumringah. Saya tentu gembira dengan kepulangan dompet sahabat saya yang menyusahkan itu.
Senja itu jadi salah satu makan ternikmat saya selama di Jogja, tentu karena saya nggak perlu risau dengan kondisi kepeng yang menjerit. Saya yakin betul makanan yang saya makan akan disertakan ketika Dul membayar makanannya.
Usai proses memamah biak tersebut Dul lantas langsung menuju ibu pemilik warung dan hanya menyebut makanan yang dia makan.
Mbelgedes.