Kamis, 04 Mei 2017

SENDAL BARU DULKIYOK

Saya sadar betul bahwa berteman dengan Dulkiyok terkadang membutuhkan perut yang siap dibuat kram oleh kepolosannya yang sulit dibayangkan sebelumnya. Tak bisa saya jamin saya akan guling-guling jika kisahnya dilekatkan pada orang lain. Beberapa akan saya ingat sebagai kisah paling 'gokil' yang pernah saya temui.

Cerita yang akan saya paparkan ini adalah kisah yang paling menggelitik bagi saya. Bahkan ketika saya mengetik tulisan ini, saya tidak bisa menyembunyikan gigi penuh kafein dan nikotin ini dari tirai bibir hitam saya. Peristiwa ini membuat saya terpaksa mengamini frasa basi yang mungkin juga sering kita dengar bahwa bahagia itu sederhana. Sesederhana melihat polah kocak sahabatmu, sesederhana mendapat nilai A dari dosen killermu, dan  sesederhana melihat senyummu, dek. Asololey. Eh yang kedua nggak jadi deh.

Tidak begitu saya ingat kapan kejadian ini tercipta, ya sekira semester ganjil tahun kedua saya di Jogja. Kala itu kami bersua kembali paska libur panjang lebaran di kampung halaman masing-masing. Semester baru, semangat baru. Tak lupa enyahkan juga muka mlotrok akibat indeks prestasi sebelumnya yang tak kalah menyedihkan dari drama korea. Saya begitu bergairah saat itu meski hasil berikutnya lebih menyuramkan hati.

Wabil khusus bagi Dul, dia baru saja membeli sendal baru sepulang dari Mojokerto. Sendal yang jika ditukarkan dengan sendal jepit saya kira cukup sampai saya yusidium. Saya menerka di usia Dul yang sudah waktunya mencari objek bribik'an, dia masih hanyut terbawa arus serba baru kala lebaran wkwkwk.

Dulkiyok seperti mendapat pujaan hati, dia begitu menyayanginya. Seperti saya mencintai Djarum, namun dengan cara yang sama sekali beda walaupun dengan prediket yang boleh dikata identik. Jika saya bersikap posessif terhadap Djarum hingga selalu saya bawa ke bilik termenung (red: kamar mandi), Dulkiyok beda. Dul lebih suka perhatian dan sentiasa menjaga  'doi' dari hal-hal berbau basah-basahan, bahkan setetes air sekalipun. Oke itu terlalu lebay.

Sebulan setelah drama yank-yank an tersebut, terjadi peristiwa tragis nan sungguh tak kuasa kiranya hati menahan gelak. Perut kami yang mendendangkan keroncong cukup jadi alarm pertanda makan malam mesti segera diselenggarakan. Kami memutuskan makan di warung sate di Sendowo, kira-kira sepuluh menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Kalau merangkak saya belum pernah mencoba, dan tidak akan pernah berpikir untuk mencobanya.

Sesampainya di TKP dan melakukan proses pelampiasan nafsu di warung sate lesehan tersebut, tiba waktunya pulang. Dul terbelalak sesaat setelah melihat ke bawah. Sendal sebelah kirinya ternyata tidak ada. Kami dan bapak pemilik warung lantas mencari dengan bantuan senter. Kemudian kami mulai mendapat petunjuk, ternyata sendal Dul bukan satu-satunya sendal yang tak punya pasangan disana. Ada satu sendal ejer yang ternyata juga jomblo. Rupanya ada pengunjung yang entah apa yang ada dibenaknya sehingga memakai sendal yang sama sekali beda yang dengan kaki-pun sudah terasa ketidakserasiannya. Kalau pelaku berniat mencuri sendal, saya rasa dia adalah maling terpandir yang pernah ada.

Akhirnya ditemukan solusi yang menurut saya cukup absurd. Dengan enteng bapak pemilik warung bilang begini : "Yaudah mas, sendalnya ditinggal aja. Besok masnya kesini lagi". Tidak kalah absurd, Dulkiyok mengiyakannya.

Kami lalu pulang dengan kondisi Dulkiyok berjalan sambil nyeker. Tak mampu rasanya saya menikmatinya tanpa ngakak, tapi sahabat saya ini lagi berkabung. Nggapleki tenan. Saat itu saya menawarkan sebelah sendal saya, tapi Dul menolaknya. Mulia betul sahabat saya ini, dia tidak mau kami berdua dianggap gila oleh orang-orang. Cukup dia saja yang gila.

Malam berikutnya Dul berniat datang kesana untuk makan sambil mencari sendalnya. Waktu itu saya tidak ikut menemani Dul dan hanya menunggu kelanjutan kisahnya. Setengah jam lebih berlalu sampai Dul balik ke kos kami. Saya yang kepo langsung bertanya pada Dul, "Sendalmu gimana Dul ?". "Amblas", tukasnya. Saya lantas bertanya kembali,"Lha kenapa nggak kamu bawa aja sendal orang itu ?". Dengan muka mlotrok si Dul bilang: "Lha wong dua-duanya udah amblas!".

Suasana kos-kosan kami langsung pecah oleh ketawa saya. Satu hal yang saya pelajari lewat kisah ini, bahwa yang paling hakiki dari sebuah hubungan bukan seberapa kuat kesiapan kita dalam memiliki, tapi seberapa erat usaha keduanya saling menjaga kepemilikan tersebut.
Tapi sendal nggak akan dengan sendirinya menemui tuannnya wkwkwk.

Jumat, 28 April 2017

DULKIYOK & MEMORINYA

Hampir tiga tahun saya tinggal bareng sama Mojokertensis satu ini. Dari dua tahun ngekos di Blimbingsari hingga kini kami dan sahabat ConeTall ngontrak di Jakal. Selama itu kami sekamar, yah sekamar. Udah kaya maho memang wkwkwk. Sampai-sampai kami dianggap suami istri di kalangan mahasiswa matematika. Tiap ngampus sendirian hampir selalu ditanya sama teman-teman: " Bojomu endi wok ?". Bedebah sekali.

Dengan waktu selama itu tentu saya paham betul sama perangai  bajingan satu ini, kecuali isi celana dalamnya tentunya. Dulkiyok adalah orang paling lugu dan kalem di kontrakan. Tapi keluguannya acap kali membuat Dul dimaklumi sama lingkungan kampus kami, meski terjebak dengan kelakuan kami yang ngudubillah. Bahkan beberapa kembang matematika kepincut dengan sikapnya yang cool itu. Menjijikkan. Tapi kalau sudah nongkrong, 'bakat' lugunya itu selalu jadi celah untuk melancarkan proses bullying. Untungnya sejauh ini dia baik-baik saja. Bisa 'nrimo ing pandum'.

Ada satu watak Dul yang bisa membuat kami tertawa hingga menangis secara bersamaan: ingatannya masyaAllahuakbar  parah. Saya ingat beberapa kisahnya.

Semester ganjil 2015 saya dan Dulkiyok menjadi panitia sie lomba pada acara Himacup, seperti PORSENI tingkat namun sebatas mahasiswa matematika UGM. Hari itu adalah pertandingan badminton di daerah Pogung. Pagi sebelum berangkat Dul mengeluh kehilangan dompet. Saya yang sudah hapal sama tabiatnya lantas mengabaikan dan bilang: "Kita berangkat dulu aja, paling entar nyelip dimana gitu". Kami kemudian berangkat ke lokasi pertandingan.

Selama pertandingan, Dulkiyok gusar memikirkan dompetnya. Namun saya urungkan niat buat mencari dan menunggu hingga pertandingan selesai. Beberapa jam kemudian pertandingan selesai dan saya langsung mengajak Dul meniti di setiap jalan dari Pogung sampai Blimbingsari. Tanpa hasil, kami langsung balik ke kos dan membongkar kamar, dari lemari sampai bawah karpet. Tapi nihil.
Tak terasa sore menjelang dan melihat muka Dul yang mlotrok saya jadi kasihan. Saya ajak dia makan di warung tenda di deket kos kami, dengan kondisi kantong saya yang sebenarnya nyaris mengenaskan. Cuma cukup buat hari itu. Tapi apalah arti uang bagi persahabatan (ehm, hoek).

Warung tenda adalah salah satu surga mahasiswa kantong cekak seperti kami. Apalagi kalo bukan karena harga dan porsinya yang mantap jiwa. Karena prasmanan, jadi kami ngambil sendiri nasi dan gerombolannya sepuasnya. Pas akan mengambil sendok nasi, saya dan si Dul terperangah melihat kotak hitam tipis yang tergeletak di samping termos nasi. Hari itu mungkin hari keberuntungannya mengingat berapa juta(*lebay) mahasiswa yang sudah makan disana sedari pagi tadi. Muka kusut Dulkiyok sontak berganti dengan senyum sumringah. Saya tentu gembira dengan kepulangan dompet sahabat saya yang menyusahkan itu.

Senja itu jadi salah satu makan ternikmat saya selama di Jogja, tentu karena saya nggak perlu risau dengan kondisi kepeng yang menjerit. Saya yakin betul makanan yang saya makan akan disertakan ketika Dul membayar makanannya.

Usai proses memamah biak tersebut Dul lantas langsung menuju ibu pemilik warung dan hanya menyebut makanan yang dia makan.
Mbelgedes.

Rabu, 19 April 2017

HUJAN

Hujan-hujan begini saya jadi ingat cerita ini. Hampir setiap kali saya kehujanan kala melakukan perjalanan dari Jogja menuju Solo maupun sebaliknya. Biasanya di daerah Klaten.Kalo udah gitu biasanya saya selalu mampir di angkringan yang deket dari situ, meskipun saya membawa jas hujan di dalam jok motor. Saya nggak ingin kehilangan kesempatan memandangi persawahan yang dibasahi hujan sambil ngobrol dengan pemilik angkringan. Tentunya ditemani kopi sembari klebas-klebus wkwkwk. Kadang-kadang saya dapat hiburan melihat beberapa pengendara motor saling kecipratan air yang menggenang di beberapa galengan sekitaran situ wkwkwk (Astaghfirullah saya begitu jahatnya tertawa di atas penderitaan orang lain, ampuni aku Gusti). Pas SMA kalo hujan-hujan begini biasanya saya langsung disodori gitar dan diminta ngiringi teman-teman tongkrongan buat nyanyi beberapa lagu. Saya memang nggak sejago teman-teman yang lain untuk kemampuan gitaran, tapi kalo urusan ngiringi tembang-tembang alay dan norak, saya boleh berbesar kepala.

Selasa, 31 Januari 2017

Air Mata dan Introspeksi Diri

Dua jurus paling mengerikan dalam kehidupan bersosial manusia. Dahsyat. Spektakuler. Luar biasa. Istimewa. Keduanya mampu menjadi sihir terbaik dalam memutarbalikkan fakta, nyaris tanpa kegagalan. Seolah-olah mengubah posisi orang yang salah menjadi benar dan sebaliknya. Jos tenan to ?

Air mata, bakat alami setiap manusia sejak awal peradaban manusia. Keberadaannya memiliki peran penting sebagai tameng perubah fakta. Tapi nggak sembarang spesies bisa menggunakannya, bisa-bisa air MATAMU akan menjadi sesuatu yang amat menjijikkan. Heuheu

Kata "introspeksi diri" saya rasa lebih kompatibel buat semua orang. Si A yang semula sebagai korban komplain kepada si B yang awalnya tersangka, ujug-ujug si B menyela : "introspeksi diri dong !". Mak jlebb. Si A diam seribu kata. Status berubah, si A kini yang salah, si B jadi pemenang pertandingan yang dramatis tersebut.

Beberapa kali saya berhadapan dengan situasi di atas. Hasilnya ? Porak poranda. Saya cuma bisa diam dan mbatin: "hasye-hasye". Kadang saya membayangkan kondisi yang sama terjadi di persidangan semua narapidana
Hakim : "Dengan bukti bukti yang ada, saudara telah terbukti melanggar pasal xx ayat yy tentang blablabla. Saudara dijatuhi hukuman kurungan z tahun".
Terdakwa : (sambil tersedu-sedu) "Introspeksi diri pak !".
(Suasana sidang mendadak hening)
Hakim : "Astaghfirullah, saya yang salah ternyata. Maaf".
Akhirnya terdakwa dibebaskan. Hakim menjebloskan dirinya sendiri ke penjara. Indonesia damai sentosa selamanya. Tamat